Referensi

Sejarah Gunung Raung

Gunung Raung adalah sebuah gunung yang besar dan unik dan Gunung Raung merupakan bagian dari kelompok pegunungan Ijen yang terdiri dari beberapa gunung, diantaranya Gunung Suket (2.950mdpl), Gunung Raung (3.332mdpl), Gunung Pendil (2.338), Gunung Rante (2.664), Gunung Merapi (2.800), Gunung Remuk (2.092), dan Kawah Ijen. Keunikan dari Puncak Gunung Raung adalah kalderanya yang sekitar 500 meter dalamnya, selalu berasap dan sering menyemburkan api. Gunung Raung termasuk gunung tua dengan kaldera di puncaknya dan dikitari oleh banyak puncak kecil, menjadikan pemandangannya benar-benar menakjubkan. Selain itu gunung ini juga terletak di paling ujung pulau jawa bahkan keindahan gunung ini dapat kita lihat dari pulau dewata bali, tepatnya ketika kita berada di pantai Lovina Singaraja Bali Utara pada akhir siang atau ketika sunset di Lovina Beach. Jajaran pegunungan di timur pulau jawa ini memiliki keindahan yang sangat unik. Gunung ini terletak di Kabupaten Bondowoso Jawa Timur. Gunung api raksasa ini muncul di sebelah timur dari suatu deretan puing gunung api yang berarah barat laut–tenggara. Di Puncaknya terdapat sebuah kaldera yang berbentuk elips dan terdapat kerucut setinggi kurang lebih 100 m dan mempunyai puncak 3.332 mdpl.

Berdasarkan Data Dasar Gunung Api Indonesia (2011), Raung tercatat meletus pertama kali pada tahun 1586. Disebutkan, letusan tahun itu sangat dahsyat dan menimbulkan korban jiwa. Namun, tidak disebutkan berapa banyak korbannya. Pada tahun 1638, Raung kembali meletus hebat disertai banjir besar dan aliran lahar melanda Kali Stail dan Kali Klatak. Korban jiwa mencapai ribuan orang. Saat itu, di kawasan tersebut berdiri Kerajaan Macan Putih di bawah pemerintahan Pangeran Tawangulun. Hingga tahun 1989, terjadi 43 letusan di Gunung Raung .

Geolog dari Museum Geologi Bandung, Indyo Pratomo, mengatakan, Raung memiliki jejak debris avalanches, bahaya lain dari gunung api selain awan panas dan banjir lahar hujan, sebagaimana terjadi di Gunung Galunggung, Jawa Barat. Debris avalanches merupakan produk dari longsornya sebagian tubuh gunung api, terutama karena aktivitas magmatik. Sumbat yang terlalu kuat di puncak gunung menyebabkan magma menjebol sisi lemah di lereng gunung dan melontarkan hingga jauh, membentuk sekelompok bukit kecil (hillocks).

Debris avalanches tak mesti terkait erupsi. Hujan deras atau gempa regional juga dapat memicu longsoran raksasa di lereng gunung api. Debris avalanches di Raung karena erupsi yang eksplosif seperti terjadi di Galunggung dan letusan St Hellen, AS, pada 1980. Debris avalanches di Raung yang mencapai 78 km dari kawah merupakan yang terbesar di Indonesia.

Gunung Raung merupakan bagian dari sistem kaldera raksasa purba. Raung berada di pinggir dari sistem kaldera. Selain Raung, beberapa gunung api aktif lain yang juga berada di pinggir sistem kaldera adalah Ijen, Merapi, dan Meranti. Kehebatan letusan Raung pada masa lalu dicatat oleh Sri Margana, sejarawan dari Universitas Gadjah Mada. Menurut dia, letusan Raung pada abad ke-18 menyebabkan sisa peradaban Kerajaan Blambangan di Macan Putih, Kabupaten Banyuwangi, dan di Kedawung, Kabupaten Jember, ikut terkubur.

”Peninggalan kerajaan diperkirakan terkubur oleh abu vulkanik Raung dari dua kali letusan. Pada 2010 kami menemukan fondasi bangunan kerajaan, gerabah, tombak, keramik, uang receh, dan sebagainya, terpendam sedalam 1,5 meter di Desa Macan Putih. Hingga kini masih banyak yang belum digali,” kata penulis buku Ujung Timur Jawa: Perebutan Hegemoni Blambangan 1763-1813 itu.

Di antara deretan gunung yang mengelilingi Banyuwangi, yakni Ijen, Merapi, Meranti, dan Raung, Gunung Raung merupakan gunung yang paling dianggap sakral oleh masyarakat Banyuwangi pada masa lalu, dibandingkan Ijen, Merapi, dan Meranti. Menurut Margana, para penguasa di kerajaan pra-Kerajaan Blambangan sudah menjadikan Gunung Raung sebagai pusat pemujaan. Salah satu indikasinya, ditemukan sejumlah peninggalan tempat persembahyangan umat Hindu yang diperkirakan dibangun pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Di antaranya ada di Kecamatan Songgon dan Sempu, Banyuwangi. Petilasan di Desa Jambewangi, Kecamatan Banyuwangi, misalnya, hingga kini masih ada dan dirawat oleh warga setempat. Petilasan itu berbentuk tumpukan batu dan berlingga menghadap ke Gunung Raung. Petilasan tersebut kini masih digunakan oleh warga Hindu untuk bersembahyang .

Letak Geografis

Gunung Raung termasuk dalam deretan Pegunungan Ijen, tepatnya di desa Sumber Wringin Kecamatan Sumber Wringin. Gunung Raung memiliki pemandangan yang menarik serta hamparan flora dan berbagai jenis satwa. Wisata ini sangat menarik dan menantang, khususnya wisatawan yang mengemari pendakian gunung. Gunung ini terletak pada ketinggian 3.332 M Dpl bertipe stratovolcano dengan titik kordinat antara 08° LU-07° LS dan 114° BB-021°BT. Hutan yang terdapat di Raung meliputi kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung. Gunung ini juga merupakan Gunung kawah terbesar kedua di Indonesia setelah Gungung Tambora yang memiliki diameter sekitar ± 2 km.

Flora dan Fauna

  • Flora
    Flora yang ada di Gunung Raung beragam misalnya : pinus, cemara gunung, rotan, honje, pisang hutan, semak-semak, pohon cantigi dan eddleweis
  • Fauna
    Fauna yang ada antara lain : macan kumbang, ular, tokek, ayam hutan, monyet, burung, elang, anjing, pacet dan lain-lain.

Kondisi Masyarakat

Penduduk di sekitar lereng gunung Raung mempunyai mata pencaharian sebagai petani, berkebun, pencari burung, pencari kayu di hutan, pedagang dan  lain-lain. Sebagian besar penduduk desa sukosari sendiri menganut agama Islam. Sebagian kecil di antaranya beragama lain, seperti Hindu dan Budha dan kristen, tetapi hanya sedikit sekali yang menganut agama itu. Hubungan toleransi dan keseharian antar umat beragama di sini cukup baik, terbukti dengan keadaan lingkungan yang damai tanpa adanya gonjang-ganjing karena permasalahan agama.

Sebagian besar dari penduduk bekerja di kebun kopi yang ada di lereng gunung raung, bahkan juga mencari rumput untuk pakan ternak, kayu bakar, ada juga pencari burung yang menangkap burung untuk diperjualbelikan. Namun, hal ini tidak diimbangi dengan pelestarian gunung raung dengan baik. Terbukti dari tidak pernahnya masyarakat melakukan konservasi atau penyelamatan terhadap apa-apa yang ada di dalam hutan.

Leave a Reply